Jawa Tengah telah lama dikenal sebagai etalase bentang alam yang memukau di Indonesia. Provinsi ini menjadi rumah bagi jajaran pegunungan, baik yang masih aktif bergejolak maupun yang telah lama tertidur. Keberadaan gunung-gunung ini tidak hanya membentuk topografi yang dramatis, tetapi juga menjadikan Jawa Tengah sebagai magnet utama bagi para pencinta wisata alam dan pendakian.
Dominasi Atap Jawa Tengah
Dalam daftar puncak tertinggi, Gunung Slamet memimpin sebagai gunung tertinggi di Jawa Tengah sekaligus kedua tertinggi di Pulau Jawa. Dengan ketinggian mencapai 3.432 meter di atas permukaan laut (mdpl), gunung ini berdiri gagah melintasi lima wilayah administrasi, yakni Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Tegal, dan Pemalang.
Tidak jauh dari sana, Gunung Sumbing menyusul sebagai tertinggi ketiga di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.371 mdpl, yang wilayahnya mencakup Kabupaten Temanggung, Magelang, dan Wonosobo. Keindahan lanskap ini semakin lengkap dengan kehadiran “saudara” Gunung Sumbing, yaitu Gunung Sindoro di kawasan Dieng (3.136 mdpl) yang terletak di Kabupaten Temanggung, serta Gunung Merbabu (3.145 mdpl) yang menjadi latar indah bagi kota-kota di sekitarnya seperti Magelang, Boyolali, dan Semarang.
Sementara itu, Gunung Merapi tetap memegang status sebagai gunung api teraktif di Indonesia. Dengan ketinggian 2.930 mdpl, Merapi menjadi ikon yang wilayahnya terbagi antara Jawa Tengah (Magelang, Klaten, Boyolali) dan DI Yogyakarta (Sleman). Di perbatasan Jawa Timur, Gunung Lawu (3.265 mdpl) berdiri kokoh menaungi Kabupaten Karanganyar, Ngawi, dan Magetan.
Ragam Topografi: Dari Dataran Tinggi Dieng hingga “Paku Tanah Jawa”
Selain raksasa-raksasa tersebut, Jawa Tengah memiliki deretan gunung dengan ketinggian beragam yang menawarkan pesona tersendiri. Di kawasan Dataran Tinggi Dieng, terdapat Gunung Prau (2.590 mdpl) yang melintasi Batang, Kendal, Temanggung, dan Wonosobo, serta Gunung Bisma (2.365 mdpl) di Wonosobo.
Bagi pendaki yang mencari elevasi lebih rendah, terdapat Gunung Ungaran (2.050 mdpl) di Semarang yang terkenal dengan kawasan wisata Bandungan dan Candi Gedong Songo. Ada pula Gunung Telomoyo (1.894 mdpl) di perbatasan Semarang dan Magelang, serta Gunung Andong (1.726 mdpl) yang populer di kalangan pendaki pemula.
Di sisi lain, terdapat gunung-gunung yang lebih landai namun sarat makna atau keunikan geografis. Sebut saja Gunung Ayamayam (1.022 mdpl) yang merupakan titik tertinggi Pegunungan Menoreh, Gunung Blego (996 mdpl) di kaki Gunung Lawu, serta Gunung Lasem (806 mdpl) di Rembang dengan puncaknya yang bernama Argopuro. Salah satu yang paling unik adalah Gunung Tidar di Magelang. Meski hanya memiliki ketinggian 503 mdpl, gunung ini memiliki julukan legendaris sebagai “Pakunya Tanah Jawa”.
Anomali Iklim: Ketika Puncak Gunung Kehilangan Ketinggiannya
Fenomena alam gunung api di Indonesia yang kokoh menjulang ini memberikan kontras menarik jika dibandingkan dengan kabar mengejutkan dari belahan bumi lain. Di Amerika Serikat, status “ketinggian” sebuah gunung ternyata tidak lagi bersifat permanen akibat krisis iklim.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Arctic, Antarctic and Alpine Research mengungkapkan fakta meresahkan: lima gunung di Amerika Serikat, termasuk Gunung Rainier yang ikonik, sedang mengalami penyusutan. Puncak-puncak ini kehilangan ketinggiannya akibat mencairnya lapisan es yang masif.
Gunung Rainier, bersama empat gunung tertutup es lainnya di wilayah Amerika Serikat, tercatat telah menyusut sejak sekitar tahun 1980. Empat dari lima gunung tersebut bahkan kehilangan ketinggian setidaknya 6 meter (20 kaki) karena hilangnya salju dan es. Puncak Columbia Crest, yang diakui sebagai titik tertinggi Gunung Rainier, kini tidak lagi berdiri setinggi 14.410 kaki di atas permukaan laut setelah kehilangan lapisan es setebal hampir 21 kaki.
Dampak Nyata Pemanasan Global
Para peneliti sepakat bahwa perubahan drastis ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim. Eric Gilbertson, seorang profesor madya di Universitas Seattle sekaligus penulis pendamping studi tersebut, menjelaskan bahwa suhu udara rata-rata di puncak-puncak ini sekarang jauh lebih tinggi dibandingkan era 1950-an, dengan kenaikan hampir 5,5 derajat Fahrenheit.
“Akibatnya, ada makin banyak hari di mana suhu mencapai di atas titik beku, dan kami melihat es mencair bahkan di ketinggian tertinggi sekalipun,” ujar Gilbertson. Selain itu, curah hujan kini lebih sering turun dalam bentuk air, bukan salju, yang semakin mempercepat proses penyusutan puncak.
Gunung Rainier sendiri merupakan puncak yang memiliki gletser terbanyak di wilayah Amerika Serikat. Gletser-gletser ini bukan sekadar hiasan alam, melainkan memegang peran vital bagi ekosistem dan manusia. Mereka menyediakan air esensial untuk sungai, pasokan air minum di hilir, habitat air dingin bagi ikan salmon, serta mendukung pembangkit listrik tenaga air di wilayah tersebut.
Scott Hotaling, profesor madya di Utah State University, menyebut mencairnya gletser ini sebagai “titik kritis iklim” dan indikator perubahan katastrofik. Menurutnya, ini adalah tanda yang sangat nyata dan mendalam tentang bagaimana perubahan iklim berdampak pada tempat-tempat yang dulunya dianggap abadi dan tak tersentuh.
Tantangan Validasi Data dan Sikap Otoritas
Proses pengumpulan data untuk membuktikan penyusutan ini bukanlah hal mudah. Para peneliti harus melakukan pengukuran selama akhir musim panas, saat salju paling tipis dan tinggi puncak yang sebenarnya terekspos. Mereka mendaki membawa peralatan GPS presisi tinggi, mengambil pembacaan data selama berjam-jam baik di atas es maupun batuan terdekat, serta membandingkannya dengan data pemetaan laser dan foto-foto lama untuk melihat perubahan bentuk puncak dari waktu ke waktu.
Meskipun temuan ini telah diserahkan kepada National Park Service (NPS), perubahan resmi pada data ketinggian belum dilakukan. Scott Beason, ahli geologi NPS di Taman Nasional Gunung Rainier, menyatakan bahwa pihaknya mengakui temuan tersebut namun tidak memiliki wewenang menetapkan elevasi puncak secara independen. Tanggung jawab tersebut berada di tangan Survei Geologi AS (USGS), dan hingga saat ini, belum ada perubahan resmi yang dibuat terhadap publikasi ketinggian 14.410 kaki yang selama ini dikenal.