Lembaga Pengelola Investasi Indonesia (INA) menetapkan infrastruktur digital, layanan kesehatan, dan energi terbarukan sebagai prioritas utamanya. Langkah strategis ini bertujuan untuk menarik mitra asing sekaligus mendorong pembangunan ekonomi nasional, sebagaimana diungkapkan oleh Chief Investment Officer (CIO) INA, Christopher Ganis.
Fokus Investasi INA: Infrastruktur Digital dan Kecerdasan Buatan
INA, yang diluncurkan pada tahun 2021 dengan modal awal $5 miliar dari pemerintah, kini mengelola aset senilai 163,4 triliun rupiah ($10 miliar). Dengan mandat ganda untuk menghasilkan keuntungan dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan, INA secara aktif menargetkan sektor digital yang sedang berkembang pesat.
“Seiring dengan pemikiran pemerintah mengenai kemandirian dan ketahanan data, permintaan untuk pusat data akan semakin meningkat,” ujar Christopher Ganis dalam sebuah wawancara. “Pusat data dan semua yang mendukung infrastruktur digital, seperti kabel bawah laut, akan menjadi sektor yang sangat menarik bagi kami.”
Untuk mewujudkan ambisi ini, INA telah menjalin berbagai kemitraan strategis. Salah satunya adalah dengan perusahaan multi-aset yang berbasis di Singapura, Granite Asia, untuk bersama-sama menginvestasikan lebih dari $1,2 miliar ke dalam ekosistem teknologi dan kecerdasan buatan (AI) di Indonesia. INA juga mendukung proyek-proyek kunci seperti kampus pusat data DayOne di Batam.
Ganis, yang sebelumnya memimpin investasi kredit swasta BlackRock di Asia Tenggara, menekankan bahwa AI menjadi prioritas, namun dengan fokus pada penerapan praktis. “AI jelas ada di radar saya, tetapi saya tidak ingin hanya ikut-ikutan tren,” jelasnya. “Mungkin kami akan mulai dengan aplikasi AI di sektor layanan kesehatan terlebih dahulu.”
Memperluas Portofolio: Energi Terbarukan dan Pembiayaan Lintas Batas
Selain sektor digital, energi terbarukan tetap menjadi fokus utama INA. Ganis menunjuk investasi sukses mereka pada tahun 2023 bersama Masdar Clean Energy dari Abu Dhabi di PT Pertamina Geothermal Energy (PGEO) sebagai contoh. “Ini adalah investasi yang memberikan kinerja sangat baik bagi kami,” katanya.
INA juga memperluas strateginya dari investasi ekuitas langsung ke modal hibrida dan kredit swasta. Ganis menjelaskan bahwa struktur pembiayaan di Asia yang didominasi perbankan mendorong INA untuk menyediakan opsi non-perbankan, terutama untuk mendukung ekspansi perusahaan Indonesia ke luar negeri.
“Ketika sebuah perusahaan melakukan ekspansi internasional, bank domestik mereka di Jakarta mungkin tidak dapat mendukung sepenuhnya. Di sisi lain, negara tujuan investasi belum mengenal perusahaan tersebut. Di situlah kami hadir untuk menjembatani kesenjangan ini,” papar Ganis.
Tantangan Energi Pusat Data: Sebuah Dilema Global
Namun, fokus INA pada pusat data bersinggungan langsung dengan salah satu tantangan terbesar di industri teknologi global: kebutuhan pasokan listrik yang masif dan andal. Pengembang pusat data di seluruh dunia berlomba untuk mengamankan daya, sering kali menghadapi waktu tunggu interkoneksi jaringan listrik yang bisa memakan waktu lima hingga tujuh tahun.
Hal ini mendorong munculnya solusi “behind-the-meter”, yaitu membangun pembangkit listrik khusus di lokasi pusat data, seperti pembangkit gas siklus gabungan, energi terbarukan, atau bahkan reaktor nuklir skala kecil. Alasan utamanya adalah kecepatan.
Akan tetapi, Brian Janous, salah satu pendiri Cloverleaf Infrastructure dan mantan VP Energi di Microsoft, berpendapat bahwa model ini memiliki banyak kelemahan dari segi ekonomi dan kompleksitas operasional. Menurutnya, membangun pembangkit listrik mandiri tidak selalu menjadi solusi yang tepat.
“Tidak benar bahwa saya bisa begitu saja memasang pipa di tanah dan mendapatkan pasokan gas tanpa batas untuk membangun pusat data,” kata Janous. Selain itu, membangun kapasitas pembangkit berlebih untuk menjamin redundansi sangatlah mahal. “Biaya per kilowatt-jam dari sistem semacam itu bisa menjadi luar biasa tinggi,” tambahnya.
Alternatif yang Lebih Cerdas: Optimalisasi Jaringan Listrik
Janous menawarkan alternatif yang lebih cerdas: mengoptimalkan jaringan listrik yang sudah ada. Menurutnya, masalah utamanya bukanlah kekurangan energi, melainkan keterbatasan kapasitas. Sebuah studi dari Duke University menunjukkan bahwa jika pusat data dan pengguna listrik besar lainnya dapat menerapkan fleksibilitas beban, maka kapasitas jaringan listrik dapat bertambah lebih dari 100 gigawatt.
“Mengatur beberapa sumber daya yang berbeda secara bersamaan dapat mereplikasi output 24/7 tanpa perlu membangun pembangkit baru,” jelas Janous.
Solusi ini melibatkan pemanfaatan berbagai teknologi, seperti penyimpanan baterai jangka panjang, Pembangkit Listrik Virtual (VPP), dan Teknologi Peningkat Jaringan (GETs). Keuntungannya jelas: “Ini tidak hanya lebih cepat karena banyak dari teknologi ini sudah ada atau relatif mudah diterapkan, tetapi juga akan lebih murah karena lebih sedikit infrastruktur yang perlu dibangun, dan pada akhirnya lebih berkelanjutan.”
Tantangan Orkestrasi dan Visi Masa Depan
Meskipun menjanjikan, Janous mengakui bahwa pendekatan terkoordinasi ini masih bersifat teoretis dan sangat kompleks. Kesederhanaan membangun pembangkit listrik mandiri masih menjadi daya tarik utama bagi banyak pengembang.
“Tantangan sebenarnya adalah orkestrasi dari semua ini,” akunya. Terobosan sejati, menurutnya, akan datang dari perangkat lunak yang mampu menentukan susunan energi optimal untuk pusat data—perpaduan sempurna antara pembangkit listrik di lokasi, VPP, baterai, dan sumber daya lainnya.
“Saya terdorong oleh banyak pihak yang kini fokus pada masalah ini, mencoba mencari cara untuk mengurangi friksi dan membantu perusahaan listrik memahami bahwa ada cara yang lebih baik untuk mengakomodasi pertumbuhan beban yang cepat,” tutup Janous.