Pemeriksaan Kesehatan Gratis Dimulai di Sekolah-sekolah
Pemerintah Indonesia resmi meluncurkan program pemeriksaan kesehatan massal yang menyasar sekitar 58 juta pelajar di seluruh negeri. Inisiatif ini diberi nama Cek Kesehatan Gratis di Sekolah (CKGS) dan merupakan bagian dari upaya nasional untuk mendeteksi dini berbagai masalah kesehatan serta meningkatkan kualitas hidup jangka panjang generasi muda Indonesia.
Pelaksanaan CKGS dimulai serentak pada Senin di berbagai sekolah dari tingkat SD hingga SMA, dengan sejumlah pejabat pemerintah turut meninjau langsung pelaksanaannya di wilayah Jabodetabek. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, saat mengunjungi SD Negeri Cideng 2 di Jakarta Pusat, menegaskan pentingnya skrining kesehatan ini sebagai langkah pencegahan.
“Banyak masalah kesehatan yang luput dari perhatian orang tua maupun anak-anak sendiri. Dengan deteksi dini, kita dapat mencegah dampak jangka panjang yang bisa mengganggu tumbuh kembang mereka,” jelas Abdul Mu’ti.
Pemeriksaan Fisik, Mental, dan Imunisasi
Program CKGS meliputi berbagai aspek pemeriksaan kesehatan, mulai dari kondisi fisik umum, kesehatan mental, status gizi, hingga riwayat imunisasi. Tahapan ini merupakan kelanjutan dari program sebelumnya, Cek Kesehatan Gratis (CKG), yang telah menyasar 16 juta warga di fase awal. Kini, fokus beralih ke para siswa di seluruh wilayah nusantara.
Menteri Komunikasi dan Urusan Digital, Meutia Hafid, saat menghadiri peluncuran di SMP Penabur Gading Serpong, Tangerang, menegaskan bahwa CKGS merupakan salah satu program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, menyusul program Makan Bergizi Gratis.
“Tujuannya jelas: menjangkau seluruh pelajar Indonesia tanpa terkecuali,” kata Meutia.
13 Jenis Pemeriksaan untuk Siswa SD
Bagi siswa sekolah dasar, CKGS mencakup 13 jenis pemeriksaan yang disesuaikan berdasarkan jenjang kelas. Beberapa di antaranya adalah status gizi, kebiasaan merokok (kelas 5–6), aktivitas fisik (kelas 4–6), tekanan darah, kadar gula darah, deteksi TBC, kesehatan pendengaran dan penglihatan, kesehatan gigi, mental, hepatitis B, kesehatan reproduksi (kelas 4–6), serta riwayat imunisasi (kelas 1).
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, juga turut meninjau pelaksanaan program ini di SD Prestasi Global, Depok. Ia menyoroti pendekatan skrining kesehatan mental yang disesuaikan dengan kelompok usia.
“Anak-anak SD belum mampu mengungkapkan kondisi mental mereka secara utuh. Oleh karena itu, metode penilaian dilakukan melalui kuesioner yang diisi oleh orang tua,” ungkap Dante. Ia juga menambahkan bahwa tindak lanjut akan dilakukan oleh konselor sekolah atau pusat layanan kesehatan setempat.
Pertumbuhan Pesat Pasar Biopestisida di Indonesia
Di sisi lain, sektor pertanian Indonesia juga menunjukkan arah yang semakin berkelanjutan dengan meningkatnya penggunaan biopestisida. Pada tahun 2024, nilai pasar biopestisida di Indonesia mencapai USD 100 juta, dan diproyeksikan tumbuh hingga USD 250 juta pada tahun 2033 dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 10,1%. Pertumbuhan ini dipicu oleh meningkatnya kesadaran lingkungan, dukungan regulasi terhadap pertanian berkelanjutan, dan permintaan yang tinggi terhadap produk organik.
Faktor Pendorong Adopsi Biopestisida
Beberapa faktor utama yang mendorong adopsi biopestisida antara lain kebijakan pemerintah yang mendukung pertanian organik dan pengurangan pestisida kimia. Selain itu, konsumen kini semakin memilih makanan yang bebas dari bahan kimia, mendorong petani untuk menerapkan praktik pertanian berkelanjutan seperti Integrated Pest Management (IPM), di mana biopestisida menjadi bagian penting.
Keanekaragaman hayati yang kaya di Indonesia juga mendukung pengembangan produk biopestisida lokal.
Peluang dan Tantangan Investasi
Pasar biopestisida di Indonesia menawarkan potensi investasi yang besar, terutama dalam pengembangan dan distribusi solusi pengendalian hama yang ramah lingkungan. Pertumbuhan sektor pertanian organik dan dukungan kebijakan menjadi sinyal positif bagi investor.
Namun, sejumlah tantangan tetap ada, seperti minimnya pemahaman petani, harga produk yang relatif tinggi dibandingkan pestisida sintetis, serta kompleksitas regulasi. Solusi seperti edukasi, subsidi, dan penyederhanaan aturan diharapkan dapat membuka lebih banyak peluang investasi di sektor ini.