Breaking News

Kebijakan Biodiesel Indonesia Picu Kenaikan Harga Minyak Sawit Global dan Ubah Peta Impor India

Kebijakan baru pemerintah Indonesia untuk membatasi ekspor dan menaikkan bea keluar minyak sawit demi program biodiesel dalam negeri mulai menimbulkan gejolak di pasar global. Langkah ini tidak hanya memicu kekhawatiran kenaikan harga di negara-negara pengimpor seperti Bangladesh, tetapi juga secara signifikan mengubah pola impor di India, importir minyak nabati terbesar di dunia.

Kenaikan Bea Keluar dan Program B40

Mulai September mendatang, Indonesia berencana menaikkan bea keluar untuk minyak sawit mentah (CPO) dari 7,5% menjadi 10%, dan untuk produk olahan hingga 9,5%. Menurut laporan Reuters, kebijakan ini bertujuan untuk mendanai peningkatan mandat penggunaan minyak sawit dalam program biodiesel.

Pemerintah Indonesia akan menaikkan campuran wajib minyak sawit untuk biodiesel dari 35% (B35) yang berlaku tahun ini, menjadi 40% (B40) pada tahun 2025. Program B40 untuk tahun 2025 akan memiliki kuota biodiesel sebesar 15,6 juta kiloliter, meningkat 20% dari kuota 12,98 juta kiloliter pada program B35 tahun 2024. Pemerintah bahkan sedang menjajaki kemungkinan campuran 50% (B50) pada tahun 2026 dan campuran bahan bakar jet berbasis sawit sebesar 3% mulai tahun depan untuk mengurangi impor bahan bakar fosil.

Dampak Langsung pada Negara Pengimpor

Langkah Indonesia ini telah memberikan dampak langsung di pasar internasional. Di Bangladesh, di mana sekitar 80% pasokan minyak sawitnya berasal dari Indonesia, harga grosir minyak makan telah naik sebesar Tk70–100 per maund (sekitar 37,32 kg) dalam sebulan terakhir. Para pedagang khawatir harga akan terus merangkak naik dalam beberapa bulan mendatang.

Mohammad Shafiul Atahar Taslim, Direktur importir minyak makan TK Group, menyatakan, “Sebagian besar minyak sawit kami berasal dari Indonesia. Tentu saja, penurunan ekspor mereka berdampak pada kami. Harga global sudah bereaksi. Harga pemesanan sudah naik. Dibandingkan dengan harga eceran yang ditetapkan pemerintah, kami mengeluarkan biaya tambahan Tk100–125 per ton hanya untuk menyiapkan produk ke pasar. Kami telah memberitahukan hal ini kepada pemerintah.”

Bangladesh memiliki permintaan minyak makan tahunan sekitar 2 hingga 2,2 juta ton, di mana 65% di antaranya adalah minyak sawit yang banyak digunakan oleh industri roti, biskuit, dan pabrik makanan.

Pergeseran Drastis di Pasar India

Dampak paling signifikan dari kenaikan harga minyak sawit terlihat di India. Sebagai importir minyak nabati terbesar di dunia, India kini melakukan pergeseran besar-besaran dari minyak sawit ke minyak kedelai karena harga yang lebih kompetitif.

Menurut perkiraan para dealer, impor minyak kedelai India untuk tahun pemasaran 2024–2025 diproyeksikan melonjak 60% mencapai rekor 5,5 juta metrik ton, dari 3,44 juta ton pada periode 2023–2024. Harga minyak kedelai yang lebih rendah menjadikannya pilihan yang lebih menarik bagi para pengilang di negara tersebut.

Impor Minyak Sawit India di Titik Terendah

Sebaliknya, impor minyak sawit India diperkirakan akan turun 13,5% menjadi 7,8 juta ton pada 2024–2025. Angka ini akan menjadi level terendah dalam lima tahun terakhir, sejak periode 2019–2020. Penurunan permintaan dari India ini diperkirakan akan memberikan tekanan pada harga kontrak berjangka minyak sawit Malaysia.

Sementara itu, impor minyak bunga matahari juga diperkirakan turun 20% menjadi 2,8 juta ton, terendah dalam tiga tahun. Meskipun terjadi pergeseran antar jenis minyak, total impor minyak nabati India pada 2024–2025 diperkirakan relatif stabil dengan sedikit kenaikan 1% menjadi 16,1 juta ton. Data dari Chicago Board of Trade (CBOT) dan Bank Dunia menunjukkan bahwa setelah stabil, harga minyak sawit global telah melampaui $1.000 per ton pada bulan Juli, naik 5,4% dibandingkan tahun 2024.